Nahdlatul Ulama dan Nasakom

Jum'at, 22 Februari 2019 - 08:36 WIB
Nahdlatul Ulama dan Nasakom
Faisal Ismail, Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.Foto/Istimewa
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

PEMILIHAN umum (pemilu) yang digelar pada 1955 merupakan pemilu satu-satunya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Sebagai tindak lanjut dari Pemilu 1955, Konstituante menyelenggarakan serangkaian sidang dengan agenda untuk menyusun UUD baru dan membahas dasar negara.

UUD 1945 hasil kerja BPUPKI di masa sebelum kemerdekaan dianggap sementara, karena itu perlu disusun UUD baru untuk menggantikan UUD 1945 susunan BPUPKI itu. Konstituante sebenarnya hampir menyelesaikan semua tugasnya, tetapi terkendala oleh tidak tuntasnya “perdebatan” tentang dasar negara.Sama seperti perdebatan di sidang-sidang BPUPKI, faksi Nasionalis Netral Agama mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara kubu Nasionalis Muslim mengusulkan Islam sebagai dasarnya. Sidang Konstituante berlangsung dari 1956-1959 dan lamanya sidang ini mengindikasikan alotnya “perdebatan“ tentang dasar negara itu.

Karena terjadi “kebuntuan” politik di Konstituante, Presiden Soekarno mengusulkan terobosan ide untuk kembali ke UUD 1945. Merespons usulan Soekarno tersebut, tiga kali Konstituante menggelar sidang dan melakukan voting. Baik kelompok yang mendukung maupun kalangan yang tidak mendukung untuk kembali ke UUD 1945 tidak memenuhi suara minimal yang dipersyaratkan.

Kebuntuan politik masih terus berlanjut dan situasi ini sudah pasti bisa membahayakan bangsa dan negara. Demi stabilitas nasional, Presiden Soekarno yang didukung penuh oleh kabinetnya dan TNI mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang isinya kembali ke UUD 1945. Bersamaan dengan itu, Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin dengan konsep tiga penyangga kekuatan, yaitu Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).

NU di Lingkaran Nasakom

Di era Demokrasi Terpimpin ini, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) diminta oleh pemerintah membubarkan diri karena beberapa pemimpinnya disebut terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Setelah Masyumi bubar, ada tiga partai Islam yang masih tersisa yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

Ketiga partai Islam ini secara realistis dan tidak bisa tidak harus menerima Demokrasi Terpimpin dengan kerangka Nasakom. Ketiga partai Islam ini secara realistis dan tidak bisa tidak harus menyesuaikan diri dengan sistem Demokrasi Terpimpin dengan pola Nasakom. Jika salah satu atau semua partai Islam ini “menolak” atau “menentang” Demokrasi Terpimpin dengan kerangka Nasakom, bisa dipastikan ketiga partai Islam itu akan dibubarkan oleh pemerintah.

Jika ketiga partai Islam (NU, PSII, dan Perti) ini dibubarkan oleh pemerintah karena alasan menolak, menentang, dan melawan Demokrasi Terpimpin dengan pola Nasakom, itu berarti sama sekali tidak ada lagi partai Islam di bumi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam keadaan demikian, tidak ada partai Islam dan wakil-wakilnya di parlemen yang akan membawa dan menyuarakan aspirasi politik umat Islam di pentas nasional.

Di sisi lain, jika partai Islam tidak ada maka tidak ada kekuatan “penyeimbang” yang mampu mengimbangi kekuatan politik Partai Komunis Indonesia (PKI), karena pada masa itu PKI pascapembubaran Masyumi sangat kuat mendominasi politik nasional.

Saya yakin “ijtihad” politik Partai NU (bersama PSII dan Perti) menerima Demokrasi Terpimpin dengan pola Nasakom sudah tepat dan sepenuhnya dapat dipahami, dilihat dari perspektif kepentingan politik nasional. NU bergerak dan berjuang di lingkaran pusat kekuasaan dan di jantung pemerintahan, aktif membawa dan menyuarakan aspirasi politik umat Islam, dan mengimbangi kekuatan komunis di pentas politik nasional.

Salah satu bukti nyata dan konkret bahwa NU memperhatikan dan menyuarakan aspirasi umat Islam adalah kepedulian NU terhadap cecaran isu pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di era Demokrasi Terpimpin dengan pola Nasakom. Saat itu HMI digoyang dan digempur keras oleh kekuatan komunis dari berbagai jurusan, diisukan sebagai kontrarevolusi, dan harus dibubarkan.

Apa sikap dan respons NU terhadap gelombang isu pembubaran HMI itu? NU melalui KH Saifuddin Zuhri (saat itu beliau menjabat sebagai menteri agama) meminta dengan sangat kepada pemerintah untuk tidak membubarkan HMI. KH Saifuddin Zuhri mengatakan “saya tidak ingin ada organisasi Islam yang dibubarkan saat saya menjabat sebagai menteri agama.” Atas imbauan dan permintaan KH Saifuddin Zuhri (dan beberapa elemen masyarakat muslim), HMI tidak jadi dibubarkan oleh pemerintah.

Ketika pada 1965 Gerakan Tiga Puluh September (G30S) melakukan pemberontakan dan menculik beberapa jenderal Angkatan Darat (yang dalam dokumen resmi pemerintah pemberontakan ini dikaitkan dengan PKI), NU dengan Bansernya tampil di barisan depan menghadapi dan “menumpas” pemberontakan tersebut. Keikutsertaan dan kerja sama NU dalam Nasakom bukan tanpa kritisisme politik.

Sekadar Perbandingan

Sikap dan perilaku NU menerima dan berada dalam Nasakom di bawah payung Demokrasi Terpimpin dapat diperbandingkan dengan sikap partai dan ormas Islam yang menerima asas tunggal Pancasila. Pada 1985, pemerintah Orde Baru secara resmi memberlakukan asas tunggal Pancasila bagi semua parpol dan ormas.

Pemberlakuan asas tunggal Pancasila ini menurut undang-undang merupakan keharusan untuk dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan, parpol atau ormas yang bersangkutan akan dibekukan dan dibubarkan. Tidak bisa tidak, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai (Islam) mencantumkan Pancasila sebagai asasnya di AD/RT-nya.

Begitu pula ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI mencantumkan Pancasila sebagai asasnya dalam AD/RT-nya. Nasib malang menimpa Pelajar Islam Indonesia (PII); ormas ini dibekukan karena tidak menerima asas tunggal Pancasila.

Saya berpendapat, sikap dan ‘ijtihad’ politik NU menerima dan berada dalam lingkaran Nasakom di era Demokrasi Terpimpin sudah tepat dan dapat dipahami dilihat dari perspektif kepentingan politik nasional. Argumen saya sudah saya paparkan di atas dan diperkuat dengan studi perbandingan parpol dan ormas Islam menerima asas tunggal Pancasila.

Orang yang dengan nada tidak apresiatif “menyalahkan” NU menerima dan berada di lingkaran Nasakom di era Demokrasi Terpimpin harus banyak belajar tentang NU.
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7413 seconds (0.1#10.140)