Surabaya dan Denyut Ekonominya Tempo Dulu (Bagian 1)

Rabu, 06 Maret 2019 - 05:01 WIB
Surabaya dan Denyut Ekonominya Tempo Dulu (Bagian 1)
Jalan Tunjungan Surabaya sejak masa lalu hingga saat ini masih menjadi jantungnya perekonomian Surabaya. Foto/SINDOnews/Lukman Hakim.
A A A
KOTA Surabaya tidak hanya dikenal sebagai Kota Pahlawan. Tapi kota yang berada di pesisir utara Jatim ini menyimpan segudang sejarah besar.

Selain menjadi tempat penyebaran agama Islam dengan berdirinya Masjid Sunan Ampel, Kota yang juga berlambang Sura dan Baya ini juga menjadi tempat perdagangan yang cukup dikenal luas.

Menurut wartawan senior Yousri Nur Raga Agam, Surabaya tidak bisa dilepaskan dari nama Hujung Galuh. Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke laut, yakni Tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh” artinya emas.

Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan Mardiwarsito.

Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak. Hujunggaluh atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi “Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas).

“Nah, bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung Galuh,” kata pria yang sering menulis artikel dan beberapa buku tentang perjalanan sejarah Surabaya ini.

Berawal dari pembangunan rel kereta api yang dibangun oleh Belanda sekitar akhir abad ke-19 Surabaya menjadi salah satu daerah yang menjadi tempat transaksi perdagangan antar kota yang berada di lewati oleh rel tersebut.

Dari arah barat, ada Lamongan, Tuban hingga Rembang. Sedangkan dari arah timur ada Pasuruan, Jember, Probolinggi, Situbondo hingga Banyuwangi. Sedangkan dari wilayah selatan ada Malang dan Blitar, Kediri, Nganjuk, Tulungagung dan Madiun.

Sejak ditaklukkan Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung, tahun 1625, tatanan Kota Surabaya masih tampak seperti dulu. Bahkan ketika penjajah datang, tatanan Kota Surabaya tak pernah berubah.

Pemerintah Kolonial Belanda justru membangun kota ini berdasarkan tatanan yang telah ada sejak menjadi Kota Pelabuhan Pantai terkuat dan berpengaruh di Nusantara, abad ke-17.

Hingga Surabaya kala itu disebut-sebut sebagai kota perdagangan terbesar di Indonesia. Meski pelabuhan yang ada tidak sebesar di Jakarta, namun di Surabaya saat ini sudah terkenal dengan berdirinya banyak pabrik yang berada disepanjang Wonokromo, Gubeng hingga pelabuhan Kalimas.

Tata Kota Surabaya sebenarnya mengikuti pola tata kota keraton seperti yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram. Tata Kota model keraton ini membagi warganya berdasarkan status kelas dan pekerjaan mereka. Sementara juga ada aloon-aloon, ada Kepatihan dan Pasar.

Dalam tata kota pola Keraton, pasar pasti berada di sebelah timur aloon-aloon. Lalu agak ke selatan ada Kepatihan. Kemudian ada Tumenggungan, ada Lawang Seketeng , Pejagalan dan ada pula Kawatan.

Nama-nama itu menyesuaikan dengan status kebangsaan dan pekerjaan. Sebut saja Kawatan. Nama ini diambil lantaran kawasan ini dihuni warga yang memproduksi kerajinan dari kawat. Sedangkan Pejagalan dikarenakan disini menjadi tempat jagal hewan.

Seperti halnya Yogjakarta dan Solo, Surabaya juga memiliki dua alun-alun yakni alun-alun utara dan selatan. Alun-alun Contong berada disebelah utara, sedangkan Tugu Pahlahwan itu dulu alun-alun selatan.

Dinamakan alun-alun Contong dikarenakan bentuknya lancip. Sejak akhir abad ke-19 disaat pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem tanam paksa atau cultuur stelseel, kegiatan perekonomian di Jatim dalam bidang pertanian mengalami peningkatan.

Dari sinilah muncul kebutuhan sejumlah alat pertanian untuk mendukung sistem tersebut. Disaat bersamaan, di Surabaya, berdiri sejumlah pabrik-pabrik yang bergerak dalam bidang pembuatan alat-alat pertanian.

Pabrik-pabrik itu berdiri disepanjang rel kereta api dan berada ditepi sebelah barang. Pabrik ini berdiri berjajar mengikuti rel kereta api sepanjang Wonokromo hingga Gubeng. Salah satunya adalah Pabrik Barata yang memproduksi permesinan berat seperti Buldozer. Ada pabrik gelas yang saat ini PT Iglas ada juga pabrik sabun hingga pabrik bir.

Sejumlah tempat yang menjadi titik perdagangan diantaranya, Pasar Besar, Kramat Gantung, Praban, Tunjungan, Bubutan, Keputran,Wonokromo dan Sepanjang. Posisi dari tempat-tempat tersebut berada berdekatan dengan stasiun kereta api.Sebut saja Tunjungan dan Praban yang berdekatan dengan stasiun Gubeng dan Wonokromo yang berdekatan dengan stasiun Wonokromo.

Disamping itu, sejumlah toko yang menjual alat pertanian dan perkebunan seperti diesel, bubut juga semakin hari-semakin banyak. Toko-toko tersebut tersebar dibeberapa titik seperti Kramat Gantung, Jagalan, Praban, Tunjungan Bubutan, Keputran dan Wonokromo. (Bersambung)
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7493 seconds (0.1#10.140)