Kisah Seorang Prabu Kertajaya, Firaun dari Kerajaan Panjalu Kediri

Jum'at, 08 Maret 2019 - 05:02 WIB
Kisah Seorang Prabu Kertajaya, Firaun dari Kerajaan Panjalu Kediri
Prasasti Kamulan yang dibangun pada masa Pemerintahan Prabu Kertajaya. Foto Ist
A A A
Adalah Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir Kerajaan Kediri (atau Kerajaan Panjalu) yang memerintah pada 1194-1222.

Kerajaan ini beribukota di Daha (Dahanapura) yang terletak di tepi Sungai Brantas, dengan wilayah kekuasaan meliputi Madiun dan daerah bagian barat Kerajaan Medang Kamulan.

Berita tentang Kerajaan Kediri sebagian besar juga diperoleh dari berita China. Berita China ini merupakan kumpulan cerita dari para pedagang China yang melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan Kediri.

Seperti Kronik China bernama Chu fan Chi karangan Chu ju kua (1220 M). Buku ini banyak mengambil cerita dari buku Ling wai tai ta (1778 M) karangan Chu ik fei. Kedua buku ini menerangkan keadaan Kerajaan Kediri pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi.

Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya yang merupakan raja terakhir Panjalu Kediri adalah dengan ditemukannya Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205).

Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar Abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.

Nama Kertajaya juga terdapat dalam Kakawin Nagarakretagama (1365) kitab sastra yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kerajaan Kediri oleh Empu Prapanca seorang tokoh agama di Istana Majapahit.

Sedangkan dalam Kitab Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis.
Konon dengan kesaktiannya, Prabu Dandhang Gendis mampu duduk di atas tombak tajam yang berdiri tanpa terluka sedikit pun.

Dikisahkan pada pemerintahannya Prabu Dandhang Gendis menyatakan, dirinya dewa dan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha layaknya Firaun dalam masa Nabi Musa AS yang mengaku sebagai Tuhan. Rakyat pun dipaksa menyembahya, bagi yang tak menurut akan dibunuh.

Aksi sang Prabu Kertajaya yang mengaku sebagai tuhan itu kemudian ditentang oleh kaum pemuka agama. Para brahmana pun menolak ketuhanan Kertajaya.

Penolakan terhadap pengakuan Raja Kertajaya ternyata berakibat buruk bagi para brahmana, mereka disiksa dengan kejam, bagi yang mengakui ketuhannya akan dibebaskan dari hukuman. Sementara bagi yang tetap tidak mengakuinya akan disiksa sampai mati.

Mendapati kelakuan rajanya yang sudah keluar batas kewajaran, para brahmana kemudian memilih menyingkir dari Kota Daha, sambil menyatakan kesesatan Prabu Kertajaya kepada seluruh Rakyat Kerajaan yang ditemuinya.

Pada waktu itu Raja Kertajaya sesumbar bahwa dirinya hanya bisa dikalahkan oleh Dewa Siwa.
Berbarengan dengan itu, di Tumapel tersiar kabar bahwa Tunggul Ametung seorang Akuwu Tumapel, Adipati bawahan Kerajaan Kediri yang setia terhadap Raja Kertajaya dibunuh oleh Prajuritnya yang bernama Ken Arok.

Ken Arok kemudian mengambil alih Tumapel menggantikan Tunggul Ametung dan mengaku sebagai titisan Dewa Siwa.

Mendapati itu, para brahmana yang sebelumnya terpencar-pencar menghindari kejaran Kerajaan Kediri berbondong-bondong meminta perlindungan kepada Ken Arok.

Ken Arok dengan kepiawaiannya memanfaatkan situasi, dia lalu mencari simpati para brahmana, dan berjanji bahwa akan melakukan pemberontakan terhadap Raja Kediri Kertajaya yang mengaku dewa atau tuhan. Ken Arok juga berjanji akan menaklukan Raja Kertajaya.

Kemudian para Brahmana menganugrahi gelar pada Ken Arok dengan Gelar Batara Guru. Mulai setelah itu Ken Arok ditetapkan oleh para brahmana sebagai perwujudan atau titisan dewa.

Gelar Batara Guru tersebut diyakini sebagai upaya pemberian kepercayaan kepada Ken Arok, karena pada waktu itu Raja Kertajaya sesumbar bahwa dirinya hanya bisa dikalahkan oleh Dewa Siwa. Sebagaimana diketahui bahwa Batara Guru merupakan nama lain dari Siwa.

Setelah para Brahmana memberikan dukungan penuh terhadap Ken Arok, diangkatlah kemudian Ken Arok menjadi Raja Tumapel yang merdeka dari Kerajaan Kediri. Sementara para brahmana selanjutnya mempengaruhi rakyat agar memberontak bersama-sama Ken Arok melawan Kediri. Rakyat kemudian berbondong-bondong membantu Ken Arok untuk mengalahkan Kediri.

Melihat Tumapel membangkang, maka Raja Kertajaya mengirimkan pasukannya untuk menyerang daerah tersebut. Tumapel digempur habis-habisan oleh Pasukan Kerajaan Kediri.
Namun karena Tumapel didukung para brahmana dan rakyat, maka serangan demi serangan Kediri dapat ditumpas.

Selalu mendapat kemenangan dari setiap pertempuran, Tumapel yang didukung rakyat kemudian bergantian menyerang balik Ibukota Kerajaan Kediri. Ibu Kota Kerajaan Kediri pun akhirnya dapat direbut dan dalam pertempuran terakhir konon Ken Arok berhasil membunuh Prabu Kertajaya.

Setelah Ibukota Kediri dapat ditaklukan maka secara otomatis seluruh bekas wilayah Kerajaan Kediri masuk kepada kekuasaan Tumapel. Ken Arok kemudian mengubah nama kerajaannya dengan nama Singasari.

Setelah itu kedudukan Kediri yang semula menjadi pusat kerajaan berganti menjadi Keadipatian bawahan Singasari. Meskipun demikian, Ken Arok mengangkat anak Raja Kertajaya yaitu Jayasbaha sebagai penguasa Kediri selanjutnya.

Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Kelak Jayakatwang atau adipati Gelang-gelang ini kemudian melakukan pemberontakan terhadap Singasari dan dalam pemberontakan itu Jayakatwang dapat menaklukan Singasari, dan untuk selanjutnya dia membangkitkan lagi Kerajaan Kediri.

Sumber:
- historyofcirebon
- mujibud.blogspot
- wikipedia
(vhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.8995 seconds (0.1#10.140)