62 Persen UMKM di Jatim Bergerak di Sektor Pertanian

Selasa, 26 Maret 2019 - 21:17 WIB
62 Persen UMKM di Jatim Bergerak di Sektor Pertanian
UMKM di Jatim, didominasi dari sektor pertanian. Foto/Ilustrasi
A A A
SURABAYA - Selama kurun waktu 2006-2016, jumlah pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Jatim berkembang besar. Tahun 2006, jumlah pelaku UMKM sebanyak 4,2 juta.

Di tahun 2012, angka tersebut telah bertambah menjadi 6,8 juta. Dari jumlah itu, sektor pertanian sebanyak 60 persen atau sejumlah 4,1 juta.

Sedangkan non pertanian sebesar 40 persen atau 2,78 juta pelaku usaha. Kemudian di tahun 2016, pelaku UMKM bertambah menjadi 12,1 juta.

Kontribusi sektor pertanian juga tumbuh menjadi 62 persen atau sebanyak 7,5 juta pelaku usaha. Sedangkan sektor non pertanian sebesar 38 persen atau sebanyak 4,6 juta pelaku usaha.

"Secara umum, kontribusi sektor UMKM di Jatim mencapai 57,52 persen dengan produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar Rp1.068 triliun," kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPBI) Jatim, Difi Ahmad Johansyah, Selasa (26/3/2019).

Sektor UMKM ini didominasi industri pengolahan dengan kontribusi 18 persen atau setara Rp98 triliun. Sedangkan 16 sektor usaha lainnya berkontribusi 39 persen terhadap PDRB dengan nilai Rp726 triliun. UMKM di Jatim menyerap sebanyak 8,94 juta tenaga kerja atau 90,23 persen dari angkatan kerja.

"Mayoritas produk unggulan di Jatim adalah komoditas dasar dan low technology. Produk unggulan di dominasi sektor pertanian, kehutanan, perikanan serta industn makanan dan minuman," tandas Difi.

Menurutnya, guna menunjang perkembangan UMKM di Jatim, dibutuhkan infrastruktur seperti jalan darat, rel kereta api, jaringan Iistrik serta jaringan internet dan logistik.

Proyek pengembangan infrastrutkur menjadi fokus Pemprov Jatim. Infrastruktur ini diyakini mampu menekan biaya logistik. Sehingga, dapat menurunkan harga produk di pasaran.

"Saat ini, tantangan yang dihadapi UMKM adalah keterbatasan Sumber Daya Manusia untuk memanfaatkan platform keuangan digital. Sehingga cakupan pemasaran dan penjualan bisa lebih luas," ujar Difi.

Di sisi lain, pelaku UMKM juga belum memiliki sistem pembukuan dan keuangan yang memadai. Hal ini ditambah dengan keterbatasan dalam integrasi produksi dan penjualan. Antara lain, dalam aspek packaging, promosi dan perolehan sertifikasi.

Manajemen UMKM juga belum sepenuhnya memiliki kemampuan untuk menyusun business plan yang memadai. Padahal ini merupakan dasar untuk pengembangan investasi dan permodalan. "Pelaku UMKM kekurangan informasi mengenai keuangan digital," terangnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.6315 seconds (0.1#10.140)