Penuntasan Kasus HAM Berat, Terbelenggu Kepentingan Politik

Selasa, 28 Agustus 2018 - 19:54 WIB
Penuntasan Kasus HAM Berat, Terbelenggu Kepentingan Politik
Komnas HAM bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Malang, menggelar diskusi publik penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Foto/SINDONews/Yuswantoro
A A A
MALANG - Masa depan Indonesia, masih terbelenggu beban pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) berat di masa lampau, yang hingga kini belum mampu dituntaskan secara hukum.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat, menurut komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM, Choirul Anam, selama 20 tahun terakhir menghadapi persoalan berat, karena selalu dibingkai dalam spektrum politik.

"Proses penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, masih kental nuansa politisnya. Belum ditempatkan pada spektrum hukum," tegasnya, di sela-sela diskusi publik bertema "Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu", Selasa (28/8/2018).

Diskusi publik tersebut, diselenggarakan Komnas HAM bekerjasama dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) Malang. "Kampus menjadi pilihan untuk melakukan diskusi ini, karena untuk menjernihkan proses penyelesaian pelanggaran HAM," imbuh Anam.

Baginya, kampus menjadi harapan untuk memberikan dukungan dalam melaksanakan kerja-kerja keadilan dan kemanusiaan.

Pijakan hukum yang bisa digunakan untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat, menurut Anam, hanya tinggal UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM. "Dalam undang-undang ini, Komnas HAM hanya memiliki kewenangan sebagai penyelidik," tuturnya.

Sementara, untuk tahap penyidikan hingga penuntutan, menjadi kewenangan Kejaksaan Agung (Kejagung). Kondisi ini, diakuinya menjadi salah satu kendala, karena banyak hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM, mandek saat sampai di Kejagung.

Dia menyebutkan, beberapa pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang hingga kini belum tuntas, antara lain kasus pembantaian tahun 1965-1966; penembakan misterius tahun 1982-1985; dan peristiwa Talangsari tahun 1989.

Kasus pelanggaran HAM berat, yang juga belum tersentuh dalam pengadilan HAM, adalah peritiwa kerusuhan Mei 1998; penghilangan paksa tahun 1997-1998; periwtiwa Wasior, dan Wamena di Papua; serta empat kasus kekerasan di Aceh.

Anam menyebutkan, penyelidikan kasus pelanggaran HAM di Wasior, Wamena, dan Aceh, sudah selesai dilakukan oleh Komnas HAM. "Kami sudah serahkan ke Kejagung. Tetapi, hingag kini belum ada tindak lanjutnya," tegasnya.

Dia mengatakan, dibutuhkan terobosan baru untuk semakin menguatkan proses penyelesaian pelanggaran HAM berat ini. Salah satunya, bisa diterbitkan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) yang bisa melahirkan penyidik HAM ad hoc, sehingga proses penyidikan tidak terhenti tanpa kejelasan.

Guru besar bidang hukum, Abdul Mukthie Fadjar yang turut menjadi narasum er dalam diskusi publik tersebut, mengatakan, butuh komitmen politik negara terhadap penegakan dan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu.

"Konstitusi negara, sudah memuat tentang perlindungan HAM. Tetapi, dalam realisasinya belum ada komitmen kongkrit untuk menjalankan dan menegakkannya. Saat ini, yang dibutuhkan adalah komitmen politik yang kongkrit untuk menegakkan keadilan dan HAM," tegasnya.

Pakar hukum FH UB, Ali Syafa'at menyatakan, penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu, harus dilakukan di muka hukum. "Apabila diselesaikan di luar proses hukum, harus ada dasar hukumnya terlebih dahulu," tegasnya.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lampau, menurutnya sangat penting untuk dilakukan, agar tidak terjadi pengulangan. "Prosesnya memang butuh waktu dan energi besar. Tetapi harus dilakukan, agar segera terungkap dan tidak menjadi beban di masa mendatang," ujar Ali.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7305 seconds (0.1#10.140)