Partisipasi Teduh Demokrasi Indonesia

Rabu, 17 April 2019 - 19:11 WIB
Partisipasi Teduh Demokrasi Indonesia
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur, Kota Surabaya, ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2019. Foto/SINDOnews/Aan Haryono
A A A
SURABAYA - Pemilu 2019 tak hanya sekedar mencari pemenang. Kedewasaan berpikir dalam menentukan pilihan dan sikap saling menghargai di negara demokrasi benar-benar diuji.

Keterlibatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam menyalurkan hak suaranya, menjadi bukti kuat demokrasi terus bertumbuh.

Mereka merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai hak suara untuk menentukan pemimpinnya. Sekaligus menegaskan partisipasi teduh yang bisa dinikmati semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali.

Saat matahari masih sepenggalah, tujuh ODGJ masuk di ruang tengah rumah sakit jiwa dengan menyikap tirai putih yang biasanya dipakai di ruang inap.

Lima buah kardus bekas mie instan ditata rapi di dekat jendela. Lengkap dengan tulisan Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten dan Kota.

Adi Susanto, (34), berjalan pelan dari lorong Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur, dengan digandeng seorang petugas. Kaos oblong warna coklat dikenakannya dengan setelah celana panjang berwarna biru.

Sebuah masker yang dikenakannya, menutup hampir separuh wajahnya. Dia berjalan pelan, sambil sesekali menatap para petugas dari KPU Kota Surabaya yang datang. Kaos oblong dengan nomor dada di bagian kanan dipakai dengan terbalik. Ada jalan rajutan benang yang terlihat di permukaan kaos. Lengkap dengan keringat kering yang membentuk lingkaran. "Lewat mana ini," ujarnya.

Petugas yang bersiaga di ruangan berukuran 5x4 meter itu mengarakannya untuk segera mendapat kertas suara. "Silahkan masuk ke bilik yang sudah disediakan, di balik tirai putih itu," kata Robiyan Arifin, Komisioner Bidang Divisi Data dan Informasi KPU Kota Surabaya.

Tangan Adi masih memainkan ujung kaos. Melintingnya dengan untaian melingkar sembari berjalan menuju ke bilik putih yang diediakan di sudut ruangan.

Sebuah jarum dan tatakan sudah menunggunya, kepalanya masih tertunduk. Membuka satu per satu kertas suara, mengenali gambar dan tulisan yang dikenalnya.

Gerakan tangannya cukup cekatan ketika mencoblos pilihan yang diinginkan. Lipatan kertas yang cukup besar tak membuatnya kesulitan. Satu persatu diselesaikan, melipatnya kembali denga rapi, serta menyimpan berbagai harapan untuk masa depan.

Partisipasi Teduh Demokrasi Indonesia


Keluar dari bilik, senyum lelaki asal Sampang ini mengembang. Mendekati meja petugas dan diarahkan untuk memasukannya dalam kardus yang sudah disiapkan. "Kertas yang biru di kotak biru, merah di kotak merah," kata Robiyan.

Selesai memasukan kertas, kelingking Adi diarahkan untuk mencelup tinta. Hak suaranya sudah disalurkan, untuk menentukan para pemimpin dan wakilnya di parlemen.

Adi merupakan bagian kecil dari demokrasi, kelompok minoritas yang tersisih tetap diberikan kesempatan untuk menyalurkan haknya di negara demokrasi.

Psikiater RSJ Menur dr Yulius Effendi SpKJ menuturkan, partisipasi ODGJ dalam pemilu tahun ini menjadi langkah maju di Indonesia. Pihaknya sempat kaget ketika ada aturan kesempatan penyandang disabilitas mental bisa ikut dalam Pemilu.

Dari semua pasien di RSJ Menur, diperoleh 34 orang yang lolos dari tes medis untuk memilih. Mereka dipilih dari serangkaian seleksi seperti memiliki fungsi kognitif, akal budi dan tidak agresif.

"Mereka juga tidak agresif serta mampu berprilaku norma sosial. Jadi nggak sampai berbuat onar atau membanting barang ketika pencoblosan," jelasnya.

Selama dirawat di RSJ, para pasien memperoleh informasi tentang Pemilu dari televisimaupun surat kabar. Mereka juga bisa menentukan pilihannya dari hati nurani mereka masing-masing.

"Dari 34 pasien itu, hanya tujuh yang lolos administrasi dari KPU. Jadi tujuh orang itu yang hari ini ikut Pemilu," ucapnya.

Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan RSJ Menur Surabaya, dr Rr Ika Indiyah Prasetyawati, M.Kes mengatakan, pihak rumah sakit jiwa tidak pernah mengarahkan untuk memilih calon tertentu. Semua yang dipilih para pasien rumah sakit jiwa merupakan pilihan mereka masing-masing.

"Ini langkah yang baik bagi ODGJ, mereka sedang dalam masa penyembuhan dan tetap memiliki hak untuk memilih," jelasnya.

Partisipasi Teduh Demokrasi Indonesia


Para Milenial Ikut Gegap Gempita

Pelaksanaan Pemilu 2019 juga menjadi panggung bagi generasi milenial untuk unjuk gigi. Sejak lama, mereka begitu acuh terhadap politik. Tak heran pemilih pemula dalam pemilu sebelumnya kerap membuang kesempatan untuk memilih.

Tahun ini, di era disrupsi informasi, para pemilih pemula hadir sebagai garda depan dalam pemilihan. Di berbagai TPS mereka membanjiri dan datang paling pagi untuk menentukan hak pilihnya.

Gemuruh media sosial yang dalam beberapa tahun terakhir menciptakan kawah pendidikan politik bagi para milenial. Mereka seperti terpanggil dan menciptakan magnet untuk ikut dalam gema politik yang sebelumnya tak begitu digandrungi para pemuda.

Seperti melupakan sejenak drama Korea kesukaannya, para milenial ini tak ragu untuk datang ke TPS dan memilih pemimpin yang diinginkan. Begitu juga dengan wakilnya di parlemen yang dianggap mampu dan amanah dalam menjalankan kepentingan para milenial.

Perina Dilanti, (17), warga Jalan Lebakrejo sudah sejak pukul 06.00 WIB datang ke TPS. Perempuan berjilbab itu tak datang bersama kedua orang tuanya yang masih berada di rumah.

Ia memilih untuk mengikat janji dengan teman-teman sebayanya untuk bertemu di ujung gang, dekat TPS sebelum duduk di kursi yang disediakan.

Sedikit obrolan tentang presiden serta wakil rakyat yang masuk dalam radar mereka. Gelak tawa menghiasi setiap percakapan. Sesekali kisah serial drama Korea menyertai obrolan politik itu.

"Tiap hari ada kok informasi untuk memilih, visi misi mereka dan janji yang akan dikerjakan," kata Perina.

Selama ini, di rumahnya memang jarang ada diskusi tentang politik, baik dari bapak maupun ibunya. Pemahaman tentang pendidikan politik diperolehnya dari teman sebaya yang kerap bertemu dan membicarakan tokoh maupun sosok yang dianggap mampu untuk bekerja bagi negara. Dan tentu saja sejalan dengan pemikiran para milenial.

"Tahapan kami memang saat ini belajar, tapi kami juga tak mau rugi kalau memilih salah. Jadi suara kami haus disalurkan dan ditampung," ucapnya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjelaskan, pihaknya kaget dengan partisipasi tinggi dari generasi milenial yang mau menyalurkan suaranya di Pemilu. Sebelumnya, banyak angka golput yang terjadi karena mereka enggan untuk hadir dan tak mau terlibat dalam partisipasi politik. "Ini sejak pagi anak-anak muda itu yang menempati kursi di antrean TPS. Ini mengembirakan," jelasnya.

Partisipasi Teduh Demokrasi Indonesia


Wali kota perempuan pertama di Kota Pahlawan itu menambahkan, semua warga tanpa terkecuali memiliki hak yang sama untuk ikut dalam pesta demokrasi. Mereka yang berasal dari kelompok minoritas serta berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama untuk menentukan wakilnya.

Demokrasi di negara ini memberikan banyak kesempatan untuk semuanya ikut dalam gemuruh yang sama. Mereka memiliki posisi yang sama untuk aktif dan mendapatkan pendidikan politik yang layak.

"Mereka pasti punya pilihan, ada yang baik dan buruk. Tapi harus tetap ada yang dipilih," ungkapnya.

Di Jatim sendiri, kelompok monoritas ikut dalam partisipasi Pemilu dalam menentukan pilihannya. Baik itu para pengungsi, kelompok milenial sampai penyandang disabilitas mental. Kesempatan mereka untuk memberikan andil dalam Pemilu dibuka dengan lebar.

Para pengungsi Syiah dari Sampang yang tinggal di Jemundo Sidoarjo juga memperoleh hak yang sama untuk memberikan suaranya dalam Pemilu. KPU Jatim sendiri menyediakan TPS khusus di Jemundo untuk menampung suara mereka.

Ketua KPU Jatim Choirul Anam mengatakan, ada 240 pengungsi Syiah yang berada di Jemundo. Mereka tentu saja tidak bisa memilih di daerah asal KTP-nya di Sampang karena konflik yang belum selesai. "Jadi kami sediakan TPS di lokasi pengungsian untuk mereka biar bisa menyalurkan hak suaranya," jelasnya.

Anam memahami berbagai orang dalam posisi terjepit untuk bisa tetap menyuarakan haknya dalam Pemilu. Kesempatan yang dibuka lebar itu menjadikan partisipasi warga dalam pemilu bisa terus dipertahankan tanpa ada yang dihilangkan haknya. "Termasuk juga mereka yang ada di lapas dan tempat rentan lainnya," jelasnya.

Perjalanan waktu memberikan banyak pembelajaran pada masyarakat di Indonesia untuk belajar tentang demokrasi. Melalui Pemilu yang jujur dan adil, mereka ingin demokrasi itu terbangun dengan teduh tanpa ada anarkhi dalam melihat hasil akhirnya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.5099 seconds (0.1#10.140)