Saatnya Hukum Ikuti Perkembangan Zaman

Sabtu, 27 April 2019 - 14:29 WIB
Saatnya Hukum Ikuti Perkembangan Zaman
Praktisi hukum, Otto Hasibuan dalam sesi wawancara di FH Unair Surabaya, Sabtu (27/4/2019). Foto/SINDONews/Ali Masduki
A A A
SURABAYA - Perkembangan industri global di era teknologi 4.0 saat ini menuntut pakar-pakar hukum, baik dari akademisi maupun profesional untuk ikut merumuskan hukum yang sesuai dengan zaman.

Seperti halnya dalam transaksi bisnis, saat ini hukum sudah banyak dipengaruhi oleh hukum-hukum dari Anglo Saxon atau dikenal juga dengan Common Law.

Mantan Ketua Umum (Ketum) DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan mengatakan, sebagai praktisi hukum tidak boleh menutup mata terhadap perkembangan-perkembangan hukum dalam praktek, mengingat sudah tidak ada ya batasan komunikasi dan sosialisasi antar negara.

"Jadi karena praktek-praktek di common low sekarang sudah diterima secara faktual oleh masyarakat Indonesia, maka boleh saja hal ini kita adopsi sebagai hukum kita, tetapi fondasi hukum dari Civil Law itu tetap dipertahankan. Podasi tetap, tetapi isinya boleh mengadopsi sesuai dengan perkembangan zaman," lanjut Otto, disela-sela seminar nasional bertema Pembentukan Undang Undang Hukum Perikatan Nasional, di Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga Surabaya, Sabtu (27/4).

Seminar yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) Indonesia. Rancangan pembentukan Undang-Undang Perikatan tersendiri telah menjadi wacana beberapa waktu terakhir untuk menggantikan ketentuan tentang perjanjian yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Ide tersebut telah lama mengemuka, terakhir disuarakan lagi saat berlangsungnya Konferensi ke-5 Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan di Jakarta, pada Oktober tahun lalu.

Otto Hasibuan menjelaskan, dari kacamata Peradi, urgensi Hukum Perikatan Nasional dibentuk berdasar perkembangan baik dari sisi bisnis maupun prinsip hukum yang berkembang di masyarakat.

“Meskipun ini berasal dari Belanda, di Belanda sendiri sudah mulai dirubah tapi di sini masih mengikuti yang lama,” ujar dia.

Menurutnya masih banyak hal yang tidak diatur dalam undang-undang, bahkan ada yang diatur tapi disimpangi dalam praktek melalui putusan hakim. “Jadi urgensinya di sini,” tegas Tokoh Fenomenal Seputar Indonesia, RCTI 2016 ini.

Dalam kesempatan yang sama, Jaksa Agung Muda Pengawas yang juga sebagai Ketua Ikatan Alumni FH Unair M Yusni memaparkan dalam proses pembentukannya, Hukum Perikatan Nasional tetap harus merujuk pada Burgerlijk Wetboek (BW), ditambah yurisprudensi dan perbandingan dengan beberapa negara lain seperti Jerman, Belanda, Perancis, dan Jepang, dan sumber hukum dari model-model hukum termasuk perkembangan kontrak dagang internasional.

“Penyesuaian terhadap Hukum Perikatan universal perlu segera dilakukan sesuai perkembangan dan tantangan jaman saat ini,” jelas Yusni.

Belanda sendiri memang sudah memiliki Nieuw Burgerlijk Wetboek yang sudah mengakomodasi perkembangan hukum perdata terbaru. Isinya sudah sangat berbeda dibanding Burgerlijk Wetboek (BW) yang dulu diterapkan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Meskipun demikian, APHK tak melakukan revisi terhadap hukum perjanjian Buku III Burgerlijk Wetboek (BW).

“Hukum Perikatan Nasional ini akan diuji apakah mengikuti perkembangan pelaku usaha misal dalam kemungkinan terjadinya sengketa," kata dia.

Agenda pembentukan Perikatan Hukum Nasional saat ini merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata warisan Belanda yang disusun pada 1848. Artinya, ketentuan Burgerlijk Wetboek (BW) sudah sangat usang, sehingga diperlukan aturan-aturan baru untuk mengatur fenomena-fenomena hukum yang tidak diatur dalam KUH Perdata.

Dekan FH Unair Nurul Barizah menambahkan, kontes liberalisasi dan globalisasi kian tak terbendung dan perlu kesiapan serta konsekuensi.

“Dengan kehadiran era industri 4.0 kita harus bisa dan siap, belum tuntas sudah hadir society 5.0. Perubahan itu sangat cepat dan dinamis dan itu semua digerakkan oleh kepentingan ekonomi. Transaksi makin pesat dan siapkah hukum nasional kita untuk menjalankan seperti itu,” kata dia.

Disisi lain, hukum nasional saat ini masih memegang prinsip lama yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan liberalisasi ekonomi dan teknologi yang sangat pesat. Sementara Negara lain telah menjalani hukum kontrak baru yang disepakati bersama.

“Saya berharap para pemangku kepentingan dapat meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran, untuk menuntaskan naskah akademik RUU Perikatan Nasional,” kata Nurul.

Sekadar diketahui, seminar nasional sehari yang diikuti ratusan akademisi dan pratisi hukum ini menghadirkan para pakar hukum seperti Guru Besar FH Unair Prof Sogar Simamora, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Non Yudisial Dr H Sunarto, Kepala BPHN Prof Dr Benny Riyanto, serta Ketua Dewan Pembina Peradi Prof Dr Otto Hasibuan. Pada sesi kedua diisi oleh guru besar FH Unair Prof Saleh, Prof M Isnaeni, Prof Agus Yudha Hermoko dan Dr Habib Adjie.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8808 seconds (0.1#10.140)